Pengertian Fitrah
Secara etimologi,
fitrah berasal dari kata “al-fathr” yang berarti “belahan”, dan dari
makna lahir makna-makna lain adalah “penciptaan” atau “kejadian”. Ibnu Abbas
memahaminya dengan arti, “saya yang membuatnya pertama kali.” Dari pemahaman
itu sehingga Ibnu Abbas menggunakan kata fitrah untuk penciptaan atau kejadian
sejak awal. Sehingga Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak awal atau
bawaan sejak lahir.
Dalam al-Qur’an kata
ini antara lain berbicara dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi
pengakuan bahwa penciptanya Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah
manusia. Hal itu dapat dilihat dalam Surat Ar-Rum ayat 30:
فأقـم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق
الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون
Artinya :
“Maka hadapkanlah wajahmu
dengan Lurus kepada agama Allah; (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum:
30)
Kata “Fitrah Allah”
dalam ayat di atas, maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah
lantaran pengaruh lingkungan.Selain itu, kata “fitrah” dalam ayat diatas
mengandung banyak interpretasi, yaitu;
1)
Fitrah yang berarti suci (thuhr), yaitu kesucian jasmani dan rohani.
2)
Fitrah yang berarti Islam (dienul Islam), maksudnya adalah agama Islam.
3)
Fitrah yang berarti mengakui ke-Esa-an Allah (at-tauhid), yaitu kecenderungan
manusia untuk meng-Esa-kan Tuhan dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan
tersebut.
4)
Fitrah yang berarti murni (al-Ikhlas), yaitu keikhlasan dalam menjalankan
sesuatu yang menjadi salah satu sifat manusia.
5)
Fitrah, yang berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan
untuk menerima kebenaran.
6)
Fitrah yang berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan
ma’rifatullah.
7)
Fitrah yang berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan
dan kesesatannya.
8)
Fitrah yang berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human
nature).
Sedangkan menurut
kesimpulan Muhammad bin Asyur tentang makna fitrah dalam surat Ar-Rum tersebut,
adalah; Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap
makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah
pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya).
Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, kata “fitrah” diartikan sebagai “sifat asal;
bakat; pembawaan; serta perasaan keagamaan”. Di
samping itu, kata “fitrah” dapat diartikan juga dengan “naluri”, yaitu
“dorongan hati atau nafsu pembawaan yang menggerakkan untuk berbuat
sesuatu”. Jadi,
fitrah adalah sifat, watak, bakat dan perasaan kegamaan yang dibawa
manusia sejak lahir. Sedangkan naluri adalah kecenderungan hati atau nafsu yang
dibawa sejak lahir yang menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu, yang baik
maupun yang buruk.
Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa fitrah menurut Islam sebagaimana dalam al-Qur’an
Surat Ar-Ruum ayat 30 di atas, bahwasanya manusia dilahirkan membawa
naluri keimanan kepada Allah
dan kesiapan menerima Islam dalam
penciptaannya. Selain fitrah yang dibawa manusia sejak lahir adalah
serangkaian naluri dan kecenderungan yang tampak secara aktual, dan
naluri yang dibawa oleh manusia dalam bentuk kecenderungan yang mungkin akan
berubah dari potensi menuju kemampuan yang aktual pada waktu tertentu.
B. Macam-Macam Pandangan Tentang Fitrah Manusia
Menurut
Yasien Muhammad, pemahaman terhadap pandangan fitrah ini dapat dikelompokkan
dan dibedakan menjadi empat, yaitu: pandangan fatalis, pandangan netral,
pandangan positif, dan pandangan dualis.
1. Pandangan
Fatalis
Pandangan
ini mempercayai bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau
jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau
sebagian sesuai dengan rencana Tuhan.
Syaikh
Abdul Qodir Jailani, tokoh populer pandangan ini, mengungkapkan bahwa seorang
pendosa akan masuk surga jika hal itu menjadi nasibnya yang telah ditentukan
Allah swt. Sebelumnya. Tokoh lain al-Azhari menyatakan bahwa sifat dasar
yang tidak berubah dari fitrah berkaitan dengan nasib seseorang untuk masuk
surga atau neraka.dengan demikian tanpa memandang faktor-faktor eksternal dari
petunjuk dan kesalahan petunjuk, seorang individu terikat oleh kehendak
Allah untuk menjalani cetak biru (blue print) kehidupannya yang telah
ditetapkan baginya sebelumnya. Ibnu mubarok tokoh utama pandangan fatalisme,
menafsirkan salah satu hadis bahwa anak-anak orang musyrik terlahir dalam
keadaan kufur atau iman.
2. Pandangan
Netral
Pandangan
ini dikomandani oleh Ibnu ‘Abd Al-Barr. Mereka mendasarkan pandangannya pada
firman Allah swt.
والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan
tidak mengetahui sesuatupun.” (QS An-Nahl : 78).
Penganut
pandangan netral berpendapat bahwa anak terlahir dalam keadaan suci, suatu
keadaan kosong sebagaimana adanya. Tanpa kesadaran akan iman atau kufur. Mereka
lahir dalam keadaan utuh atau sempurna, tetapi kosong dari suatu esensi yang
baik atau yang jahat. Menurut pandangan ini, manusia dilahirkan dalam keadaan
bodoh dan tidak berdosa. Dia akan memeperoleh pengetahuan tentang yang benar
dan yang salah, tentang kebaikan dan kebenaran serta keburukan dan kejahatan,
dari lingkungan eksternal.
Menurut
pandangan ini, iman (kebaikan) atau kufur (keburukan) hanya mewujud ketika anak
tersebut mencapai kedewasaan (taklif). Setelah mencapai taklif, seseorang
menjadi bertanggung jawab atas perbuatannya.
3. Pandangan
Positif
Menurut
Ibnu Taimiyah semua anak terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam kebajikan
bawaan, dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan individu menyimpang dari
keadaan ini. Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan
tentang Allah yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta
kepadanya dan keinginan untuk melaksanakan ajaran agama secara tulus
sebagai seorang hanif sejati.
Ibnu
Taimiyah memberikan tanggapan atas pandangan Ibnu ‘Abd Al-Barr dan menegaskan
bahwa fitrah bukan semata-mata sebagai potensi pasif yang harus dibangun dari
luar, tetapi merupakan sumber yang mampu memebangkitkan dirinya sendiri yang
ada dalam individu tersebut. Orang yang hanif bukanlah seseorang yang bereaksi
terhadap sumber-sumber bimbingan, tetapi seseorang yang secara alamiyah telah
terbimbing dan berupaya memantapkan dalam praktik secara sadar.
Tentang
keterkaitan antara fitrah dan dien islam, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa
terdapat suatu kesesuaian alamiyah antara sifat dasar manusia dan dien islam.
Agama islam menyediakan kondisi ideal untuk memepertahankan dan mengembangkan
sifat-sifat bawaan manusia. Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar
pengetahuan tentang Allah yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga
suatu cinta kepadanya dan keinginan untuk melaksanakan agama secara tulus
sebagai seorang hanif sejati.
Selanjutnya,
apakah fitrah dapat rusak, ada perbedaan pendapat diantara penganut pandangan
positif. Pertama. Fitrah bisa rusak, Ali Ash-Shabuni dan Al-Faruqi berpendapat
demikian, Ali Ash-Shabuni mengungkapkan bahwa fitrah dapat rusak disebabkan
masyarakat memperlihatkan kesalahan, penderitaan, dan kekufuran kepada anak.
Manusia itulah yang merusak dan mengubah apa yang tercipta dalam keadaan indah
dan baik. Al-Faruqi berpendapat bahwa fitrah bisa rusak, karena adanya
dorongan-dorongan yang jahat atau hawa nafsu. Kedua, fitrah tidak bisa rusak.
Muhammad Asad mengungkapkan bahwa Allah tidak akan membiarkan suatu perubahan
untuk merusak apa yang telah dia ciptakan. Mufti Muhammad Syafi’i juga
berpendapat demikian. Memurutnya, keadaan intrinsik fitrah tetap sebagai suatu
keadaan yang tidak berubah, sementara keadaan-keadaan ekstrinsik yang
bermacam-macam dari keimanan dan perilaku bisa berubah dan bersifat dinamis.
4. Pandangan
Dualis
Pandangan ini
berbeda dengan pandangan fatalis, netral dan positif. Menurut mereka penciptaan
manusia membawa suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Menurut Quthb, dua unsur
pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh yaitu ruh dan tanah,
mengakibatkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecenderungan yang setara
pada manusia, yaitu kecenderungan untuk mengikuti tuhan dan kecenderungan untuk
tersesat. Selanjutnya Quthb berpendapat bahwa kebaikan yang ada pada diri
manusia dilengkapi dengan pengaruh-pengaruh eksternal seperti kenabian dan
wahyu Tuhan sementara kejahatan yang ada pada diri manusia
dilengkapi faktor eksternal seperti godaan dan kesesatan.
Shari’ati
berpandangan bahwa tanah simbol terendah dari kehinaan digabungkan dengan
ruh (dari) Allah. Dengan demiikan manusia adalah makhluk berdimensi ganda
dengan sifat dasar ganda, suatu susunan dari dua kekuatan, bukan saja berbeda,
tetapi juga berlawanan.
C. Perbandingan Pandangan Psikologi Islam, Filsafat dan Psikologi
Modern
Adapun perbandingan pandangan psikologi islam
dengan filsafat dan psikologi modern tentang fitrah manusia adalah sebagai
berikut:
1. Doktrin Kristen
Berbeda dengan
pandangan Psikologi Islam, menurut doktrin Kristen manusia terlahir dalam
kedaan dosa dan dalam suatu keadaan yang tidak suci.
2. Pandangan
Psikoanalisis
Pandangan ini
mengungkapkan bahwa manusia lahir dalam keadaan cenderung untuk memenuhi
dorongan hidup (eros) dan dorongan mati (thanatos). Darongan hidup mewujud
dalam bentuk libido-seksualita, dan dorongan mati dalam bentuk bunuh diri dan
agresi.
3. Pandangan Fisafat
Empirisme dan Psikologi Perilaku
Pandangan ini
mengacu dari teori tabularasa, yaitu manusia lahir dalam keadaan netral,
bagaikan kertas putih. Manusia tidak memiliki bakat atau potensi yang bersifat
melekat dalam dirinya semenjak lahir untuk menjadi manusia yang baik atau
buruk. Kebaikan dan keburukan, kepandaian dan kebodohan, semata-mata terjadi
karena faktor-faktor yang bersifat eksternal.
4. Pandangan
Filsafat Eksistensialisme dan Psikologi Humanistik
Pandangan ini
mempercayai bahwa manusia memiliki potensi untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Karena kemampuan potensialnya itu, manusia memiliki peluang untuk menjadi
pengatur dan penentu kehidupannya sendiri. Bahkan, manusia dapat menjadi Tuhan
bagi dirinya sendiri.
Dari keempat pandangan di atas dapat dibandingkan
bahwa
1. Pandangan
Islam dan Psikologi Islami bersifat transcendental dan mempercayai sepenuhnya
bahwa keberadaan manusia di ciptakan Alloh. Hal ini berbeda dengan pandangan
filsafat dan psikologi barat modern yang tidak mencatat aspek penting bahwa
kehadiran manusia diciptakan oleh Alloh
2. Menurut
Islam dan Psikologi Islami, manusia diciptakan dengan tujuan dan misi khusus,
yaitu beribadah kepada Alloh dan menjadi khalifah di bumi. Berbeda dengan
psikologi barat yang tidak memandang tujuan dari penciptaan dan kehadiran
manusia.
D. Potensi fitrah dalam psikologi Islam
1. Potensi Fisik (Psychomotoric), merupakan potensi
fisik manusia yang dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk berbagai
kepentingan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
2. Potensi Mental Intelektual (IQ), merupakan
potensi yang ada pada otak manusia fungsinya : untuk merencanakan sesuatu untuk
menghitung, dan menganalisis, serta memahami sesuatu tersebut.
3. Potensi Mental Spritual Question (SP), merupakan
potensi kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia yang
berhubungan dengan jiwa dan keimanan dan akhlak manusia.
4. Potensi Sosial Emosional, yaitu merupakan potensi
yang ada pada otak manusia fungsinya mengendalikan amarah, serta bertanggung
jawab terhadap sesuatu.
Pendidikan
: (Man is the core of educational
process ;
M.Rahim shaleh Abdullah; Educational
Theory a Qur’anic Outlook, t.th; 47)
–
…Sebuah usaha mendewasakan manusia (Kamus Besar Bhs.Indonesia)
–
…Terbentuknya kepribadian yang utama bagi siterdidik (Ahmad D.Marimba)
–
…Sebuah upaya memanusiakan manusia dan membudayakan manusia. Dst.
Aliran
aliran pendidikan :
– Empirisme
: Dipelopori John Locke (1632-1704)
(tabularasa)
– anak dilahirkan dalam keadaan putih bersih,
bagaikan kertas kososng.
–
perilaku/perkembangan anak dipengaruhi/ditentukan oleh orang tua,
sekolah,masyarakat (lingkungan, pengalaman, dst.)
–
kegiatan pendidikan lebih terpusat pada pendidik (teacher center)
– Nativisme
: Dipelopori oleh Arthur Schopenhaur (1768-1860)
(teori
bakat)
– anak dilahirkan lengkap dengan pembawaan
bakatnya
–
pendidikan hanya berperan membantu anak diidik untuk menjadi apa yang akan
terjadi sesuai dengan potensi pembawaan yang dikandungnya
–
anak akan belajar rajin apabila mereka dalam keadaan gembira dan tertarik
mempelajari sesuatu yang sesuai dengan bakat dan kecenderungannya.
–
Kegiatan pendidikan terpusat pada anak didik (child center)
– Konvergensi
: Dipelopori William Stern
(1871-1939)
(realisme)
– bahwa kepribadian anak dibentuk oleh faktor
endogen (nativis) dan eksogen
(empiris)
atau oleh faktor dasar dan ajar.
–
faktor dasar (pembawaan) tidak berarti apa-apa tanpa upaya dari luar yaitu
usaha pendidikan, sebaliknya faktor ajar (pendidikan) juga tidak cukup dan akan
sia-sia tanpa memperhatikan faktor dasar.
–
Pendidikan menjadi tanggung jawab bersama; pendidik, siterdidik, orang tua dan
masyarakat dalam membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan tantangan zaman.
Mana
di antara aliran tersebut yang lebih baik/benar, bagaimana dengan konsepsi
Islam ?
Pendidikan
Islam :anak dilahirkan sesuai dengan fitrahnya.
–
Fitrah tidak sama dengan pengertian tabularasa John Locke, fitrah berarti asli,
bersih, dan suci, bukan kosong tetapi berisi daya-daya yang wujud dan
perkembangannya tergantung pada usaha manusia itu sendiri.
–
Jadi pendidikan dilakukan dengan mendayagunakan potensi-potensi tersebut dan
mengembangkannya menuju Ma’rifatullah, dan bertaqwa kepada-Nya, menghayati
sunnatullah, dan kemudian berserah diri kepadan-Nya.
–
Perbedaan dan persamaan dengan empirisme: keduanya sepakat bahwa anak yg baru
lahir bersih dan suci, tetapi empirisme memandang bagaikan kertas kosong,
sementara Islam memandangnya berisi daya-daya perbuatan.
–
Perbedaan dan persamaan dengan Nativisme: keduanya mengakui pentingnya faktor
pembawaan atau dasar dalam pembentukan dan pengembangan pendidikan anak didik
sehingga pendidik hanya sebagai fasilitator saja. Tetapi karena adanya nilai
agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka pendidik dalam pendidikan Islam
bukan hanya sebagai pembantu saja tetapi ia bertanggung jawab akan terbentuknya
kepribadian muslim pada anak didik.
–
Perbedaan dan persamaan dengan konvergensi: keduanya mengakui pentingnya faktor
endogen dan eksogen dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik,
namun dalam Islam pendidikan didasarkan pada filsafat teocentris sehingga
kepribadian anak itu dikembangkan pada Ma’rifatullah dengan memahami ayat-ayat
qauliyah dan kauniyah-Nya (sunnatullah), sementara Konvergensi mendasarkan pada
filsafat antropocentris untuk mencapai kedewasaan dan
kesejahteraan duniawi.
0 komentar:
Posting Komentar